Seorang muslim
dalam menjalankan kewajiban puasa di bulan Ramadhan acap kali melakukan hal-hal
yang dapat merusak atau mengurangi kesempurnaan puasa, maka dengan hikmahNya,
Allah Ta’ala mensyariatkan zakat fithri agar lebih menyempurnakan puasanya.
Maka dari itu, dalam edisi kali ini merupakan hal yang sangat penting bagi kita
untuk membahas dan memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Agar ibadah yang mulia ini
menjadi benar sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diterima
oleh Allah Ta’ala.
A.
Makna Zakat Fithri
Zakat fithri
merupakan zakat yang disyari’atkan dalam agama Islam berupa satu sho’ dari
makanan (pokok) yang dikeluarkan seorang muslim di akhir bulan Romadhon, dalam
rangka menampakkan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah dalam berbuka dari
puasa Romadhon dan penyempurnaannya. Oleh karena itu dinamakan shodaqoh fithri
atau zakat fithri. (Lihat Fatawa Romadhon, II/901)
B.
Hikmah Disyari’atkannya Zakat Fithri
Zakat Fithri
mempunyai hikmah yang banyak, diantaranya:
1.
Untuk menyucikan jiwa orang yang
berpuasa dari perkara yang sia-sia atau tidak bermanfaat dan kata-kata yang
kotor. 2. Memberikan kecukupan kepada kaum fakir dan miskin dari meminta-minta pada hari raya ‘idul fithri sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan orang kaya pada hari tersebut. Dan syari’at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua kalangan masyarakat muslim.
Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits
berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan (jiwa) orang yang berpuasa dari
perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang
miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka itu adalah zakat
yang diterima (oleh Allah, pen). Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat
(‘Ied), maka itu adalah satu shadaqah diantara shadaqah-shadaqah”. (HR Abu
Dawud, I/505 no.1609, Ibnu Majah I/585 no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh
al-Albani di dalam Irwa’ Al-Gholil III/333).
C.
Hukum Zakat Fithri
Zakat fithri wajib
bagi setiap muslim, baik laki-laki atau perempuan, anak-anak atau orang dewasa,
merdeka atau pun budak. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar
radhiyallahu anhu, bahwa dia berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sha’
kurma atau satu sha’ gandum. Kewajiban itu dibebankan kepada budak, orang
merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam.
Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan sebelum orang-orang
keluar menuju shalat (‘Ied)”. (HR Bukhari II/547 no. 1432, Muslim II/679 no.
986, dan selainnya)
Juga berdasarkan
penafsiran Said bin Musayyib dan Umar bin Abdul Aziz terhadap firman Allah
Ta’ala:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
“Sungguh beruntung
orang yang mensucikan dirinya.” (QS. Al A’la: 14) dengan zakat fithri.
Demikian pula ijma’
(konsensus) para ulama menetapkan wajibnya zakat fithri, sebagaimana dikatakan
Ibnu Al-Mundzir: “Para ulama yang kami menghafal dari mereka telah bersepakat
bahwa shadaqah (zakat) fithri itu hukumnya wajib.” (Lihat Al-Ijma’ karya Ibnu
Al-Mundzir hal.49, dengan dinukil dari Shahih Fiqhus Sunnah II/79-80)
Catatan: Perlu
diperhatikan bahwa ash-shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di
dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan
bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin
tidaklah disebut ash-shogir (anak kecil) dalam bahasa Arab maupun secara ‘urf
(anggapan/kebiasaan orang Arab). (Lihat Shifat Shaum Nabi, hal.102). Namun jika
ada yang mau membayarkan zakat fithri untuk janin (yang telah berusia empat
bulan atau lebih, karena telah ditiupkan ruh padanya, pen) tidaklah mengapa,
karena dahulu sahabat Utsman bin ‘Affan radhiyallahu anhu pernah mengeluarkan
zakat fithri bagi janin dalam kandungan. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan,
hal.381)
D.
Siapakah Yang Berkewajiban Membayar
Zakat Fithri?
Zakat fithri wajib
ditunaikan oleh setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1.
Beragama Islam. Sedangkan orang kafir
tidak wajib untuk menunaikannya, namun mereka akan diberi sanksi di akhirat
karena tidak menunaikannya.
2. Mampu mengeluarkan zakat fithri.
Karena Allah Ta’ala tidaklah membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al Baqarah:
286).
Adapun batasan
mampu menurut mayoritas ulama, adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya
dan orang-orang yang menjadi tanggungannya pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi
apabila keadaan seseorang demikian berarti dia termasuk orang mampu dan wajib
mengeluarkan zakat fitri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Barangsiapa
meminta-minta sedangkan dia mempunyai sesuatu yang mencukupinya, maka
sesungguhnya dia sedang memperbanyak dari api neraka (dalam riwayat lain: bara
api Jahannam, pen).” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran (harta
itu) mencukupi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seukuran
makanan yang mengenyangkan sehari-semalam.” (HR. Abu Daud I/512 no.1629. Dan
hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Daud.)
(Lihat Shohih Fiqhis Sunnah, II/80)
Demikian pula wajib
dikeluarkan zakatnya bagi setiap orang yang termasuk dalam kriteria berikut
ini:
·
Anak yang lahir sebelum matahari
terbenam pada akhir bulan Ramadhan dan masih hidup sesudah matahari terbenam
meskipun hanya beberapa saat.
·
Memeluk Islam sebelum matahari
terbenam pada akhir bulan Ramadhan dan tetap dalam Islamnya.
·
Seseorang yang meninggal selepas
terbenam matahari akhir Ramadhan.
Permasalahan: Bagaimana dengan
anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah perlu mengeluarkan zakat
sendiri-sendiri?
Menurut Imam
Nawawi, kepala keluarga wajib membayar zakat fithri keluarganya. Bahkan menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i dan mayoritas ulama, wajib bagi suami untuk
mengeluarkan zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh
Nawawi ‘ala Muslim, VII/59).
Namun menurut
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jika mereka mampu, sebaiknya mereka
mengeluarkannya atas nama diri mereka sendiri, karena pada asalnya
masing-masing mereka terkena perintah untuk menunaikannya. (Lihat Majelis Bulan
Ramadhan, 381). Wallahu a’lam bish-showab.
E.
Ukuran Zakat Fithri
Berdasarkan hadits
Ibnu Umar radhiyallahu anhu yang telah kita sebutkan di atas, bahwa ukuran
zakat fithri yang wajib dikeluarkan adalah 1 (satu) sho’ kurma atau gandum
(atau sesuai makanan pokok penduduk suatu negeri, pent). Sedangkan menurut
ukuran zaman sekarang, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa 1
(satu) sho’ sama beratnya dengan 2,157 Kg (lihat Shahih Fiqhis Sunnah II/83).
Ada pula yang menetapkan bahwa 1 (satu) sho’ sama beratnya dengan 2 kg lebih 40
gram, sebagaimana hasil penelitian syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
(lihat Syarhul Mumti’, VI/176-177). Dan ada pula yang menetapkan bahwa 1 (satu)
sho’ sama beratnya dengan 2,5 kg, sebagaimana yang berlaku di negara kita
Indonesia. Sedangkan menurut hasil penelitian Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan
dipakai dalam fatwa Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia bahwa 1 (satu) sho’
sama beratnya dengan 3 (tiga) kg. (lihat Fatawa Romadhon II/915 dan II/926)
(Lihat juga Fatawa Lajnah Daimah no. 12572).
Dengan demikian,
jika ada seorang muslim yang mengeluarkan zakat fithri seberat salah satu dari
ukuran-ukuran tersebut di atas, maka sudah dianggap sah. Namun yang lebih baik
dan lebih hati-hati adalah mengeluarkan zakat fitri seberat 3 kg. wallahu a’lam
bish-showab.
F.
Jenis Zakat Fithri.
Zakat fithri harus
dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok penduduk suatu negeri, baik itu berupa
kurma, gandum, beras, jagung, kismis, keju, atau selainnya, dan tidak terbatas
pada kurma atau gandum saja (Lihat Shohih Fiqhis Sunnah, II/82). Inilah
pendapat yang nampak rajih (benar dan kuat) sebagaimana dipegangi oleh para
ulama pengikut madzhab imam Malik, imam Syafi’i, dan juga merupakan pendapat
yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
G.
Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fithri
dengan Uang?
Menurut pendapat
mayoritas ulama, bahwa zakat fithri tidak boleh dikeluarkan dalam bentuk selain
makanan pokok. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan kaum
muslimin agar membayar zakat fithri dengan makanan pokok (sebagaimana telah
disebutkan dalam hadits Ibnu Umar di atas). Dan ketentuan beliau ini tidak
boleh dilanggar.
Oleh karena itu,
tidak boleh mengganti makanan pokok dengan uang yang seharga makanan pokok
tersebut dalam membayar zakat fithri karena ini berarti menyelisihi perintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan alasan lainnya adalah:
1 .
Selain menyelisihi perintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyelisihi amalan para sahabat
radhiyallahu ‘anhum yang menunaikannya dengan satu sho’ kurma atau gandum
(makanan pokok mereka pada saat itu, pen). Sementara dalam sebuah hadits,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
“Wajib bagi kalian
untuk berpegang teguh dengan tuntunanku dan tuntunan para khalifah yang lurus
yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Daud II/610 no. 4607, dan At-Tirmidzi V/44
no. 2676)
.
Zakat fithri adalah suatu ibadah yang
diwajibkan dari suatu jenis tertentu. Oleh sebab itu, posisi jenis barang yang
dijadikan sebagai alat pembayaran zakat fithri itu tidak dapat digantikan
sebagaimana waktu pelaksanaannya juga tidak dapat digantikan. Jika ada yang
mengatakan bahwa menggunakan uang itu lebih bermanfaat. Maka kami katakan bahwa
Nabi yang mensyari’atkan zakat dengan makanan tentu lebih sayang kepada orang
miskin dan tentu lebih tahu mana yang lebih manfaat bagi mereka. Allah yang
mensyari’atkannya pula tentu lebih tahu kemaslahatan hamba-Nya yang fakir dan
miskin, tetapi Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan dengan uang.
Perlu diketahui pula
bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terdapat mata
uang. Tetapi beliau tidak memerintahkan para sahabatnya untuk membayar zakat
fitri dengan uang? Seandainya diperbolehkan dengan uang, lalu apa hikmahnya
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dengan satu sho’ gandum atau
kurma? Seandainya boleh menggunakan uang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan mengatakan kepada umatnya, ‘Satu sho’ gandum atau harganya.’
Syaikh Abu Bakar
Jabir al-Jazairi berkata: “Zakat fithri wajib dikeluarkan dari jenis-jenis
makanan (pokok, Pen), dan tidak menggantinya dengan uang, kecuali karena
darurat (terpaksa). Karena, tidak ada dalil (yang menunjukkan) bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan
juga tidak dinukilkan dari seorang sahabat pun, bahwa mereka mengeluarkannya
dengan uang”. (Minhajul Muslim, halaman 231).
H.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri.
Waktu mengeluarkan
Zakat Fithri yang utama adalah sebelum manusia keluar menuju tempat sholat
‘Ied, dan boleh didahulukan satu atau dua hari sebelum hari raya ‘idul Fithri
sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Adapun
membayar zakat fithri setelah selesai melaksanakan sholat Ied, maka tidak boleh
dan tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan (jiwa) orang yang berpuasa dari
perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang
miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka itu adalah zakat
yang diterima (oleh Allah, pen). Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat
(‘Ied), maka itu adalah satu shadaqah diantara shadaqah-shadaqah”. (HR Abu
Dawud, I/505 no.1609, Ibnu Majah I/585 no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh
al-Albani di dalam Irwa’ Al-Gholil III/333).
I.
Penerima Zakat Fithri
Berdasarkan
pendapat yang paling rajih (kuat dan benar), bahwa yang berhak menerima zakat
fithri hanyalah orang-orang fakir dan miskin saja, sedangkan 6 (enam) golongan
penerima zakat lainnya (sebagaimana terdapat dalam surat At Taubah, ayat 60)
tidak berhak menerimanya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh para ulama
pengikut madzhab imam Malik, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXV/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul
Ma’ad (II/44). Pendapat ini dianggap lebih tepat karena lebih cocok dengan
tujuan disyariatkannya zakat fithri, yaitu untuk memberi makan orang miskin
sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas di atas, “…sebagai makanan bagi
orang-orang miskin.” (Lihat Shohih Fiqhis Sunnah, II/85)
J.
Apakah Panitia Zakat (Amil) Berhak
Mendapat Bagian Dari Zakat Fithri?
Panitia Zakat (Amil) yang menarik
atau mengumpulkan zakat fithri dan membagikannya kepada orang-orang fakir dan
miskin tidak berhak menerima atau mengambil bagian dari zakat fithri sedikit
pun dengan sebab mereka sebagai pengurus atau paniti zakat, kecuali jika dia
termasuk dalam golongan fakir dan miskin, maka dia berhak mendapatkan bagian
dari zakat fithri tersebut.
Demikian pembahasan
singkat dan global tentang permasalahan dan hukum yang berkaitan dengan zakat
fithri. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan
pembacanya kita. Wallahu a’lam bish-showab.
Komentar
Posting Komentar